PENERAPAN PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI ANAK
TUNALARAS
1. Pelaksanaan Kegiatan Belajar Mengajar
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di
kelas inklusif secara umum sama dengan pelaksanaan kegiaan belajar-mengajar di
kelas reguler. Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif di samping
terdapat anak normal juga terdapat anak luar biasa yang mengalami
kelainan/penyimpangan, maka dalam kegiatan belajar-mengajar guru yang mengajar
di kelas inklusif di samping menerapkan prinsip-prinsip umum juga harus
mengimplementasikan prinsip-prinsip khusus sesuai dengan kelainan anak.
a. Bentuk kelas
Dalam melaksanakan kegiatan belajar
mengajar hendaknya disesuaikan dengan model penempatan anak luar biasa yang
dipilih, penempatan anak luar biasa di sekolah inklusif dapat dilakukan dengan
berbagai model sebagai berikut:
a) Kelas reguler (inklusi penuh)
b) Kelas reguler dengan cluster
c) Kelas reguler dengan pull out
d) Kelas reguler dengan cluster dan pull
out
e) Kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian
f) Kelas khusus penuh.
b. Implementasi model pembelajaran
Disebabkan anak-anak dengan kelainan
perilaku salah suai mengacu kepada adanya:1) perilaku yang sangat ekstrim;2)
masalahnya sangat kronis (salah satunya adalah sulit untuk dihilangkan
secepatnya);3) perilaku yang tidak diterima oleh adanya harapan-harapan
tertentu dalam lingkungan sosial dan budaya tertentu
Dengan demikian disadari proses
perkembangan anak untuk mengubah dirinya memerlukan bentuk kegiatan tertentu
serta latihan yang diarahkan sesuai dengan keberadaan dirinya, sehingga
terpenuhi kebutuhan psikologis, seperti perasaan dicintai dan dapat diterima
oleh orang-orang di sekitarnya).
a) Kebutuhan intervensi pembelajaran khusus
Ada tiga bentuk hubungan pada diri
peserta didik yang mengalami hambatan perkembangan, yaitu Locus of
control, expectancy for failure, dan outer directedness.
Locus of control mengacu pada sejauh mana seseorang
merasakan akibat dari perilakunya sendiri. Seseorang yang merasakan
kejadian-kejadian, baik yang positif maupun negatif, sebagai akibat dari
tindakannya sendiri disebut dengan internal locus of control.
Sebaliknya apabila dilakukan akibat tekanan dariluar dirinya seperti
nasib,kesempatan, atau akibat dari perbuatan orang lain disebut denganexternal
locus of control. Pribadi peserta didik yang mempunyai hambatan
perkembangan lebih berorientasi ke arah external locus of control daripada
mereka yang tidak mempunyai hambatan perkembangan
Expectancy for failure mengacu pada penguatan yang
merupakan antisipasi sebagai akibat dari perilaku yang diajarkan.Misalnya
pemberian hadiah danpemberian harapan-harapan sebagai bentuk umum akibat dari
pengalaman-pengalaman masa lalu dengan tipe khusus dari suatu kegiatan
pemecahan masalah.
Outerdirectedness merupakan upaya untuk mengatasi
kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi. Individu outerdirectednessdalam
upaya untuk tidak melakukan kesalahan-kesalahan,pada umumnya meniru perilaku
orang lain yang benar atau memperhatikan orang lain sebagai bentuk arahan atau
petunjuk-petunjuk khusus bagi dirinya.
Dengan demikian maka perhatian guru
lebih tertuju ke pada upaya-upaya untuk membantu anak dalam mengatasi
konflik-konflik mentalnya, bukan dengan merubah perilaku kelainan yang tampak
atau memberikan keterampilan akademik ).
Program pembelajaran sebaiknya
diupayakan untuk dapat meningkatkan hubungan orang-perorang, selanjutnya suatu
program pembelajaran bagi anak dengan kelainan perilaku diperlukan adanya
hal-hal berikut
Kegiatan-kegiatan dapat dipersiapkan
agar dapat meningkatkan kesportifitasan, dan hubungan yang terjalin dengan baik
antara anak yang bersangkutan dengan guru dan teman-teman sekelasnya.
Semua kegiatan sebaiknya di arahkan
untuk dapat memperoleh pengalaman-pengalaman yang berguna, dapat dirasakan
kepuasaannya, dan dapat dilakukan dengan ekspresi yang penuh.
Kegiatan-kegiatan yang disajikan
berdasarkan pada pola permainan, seperti permainan teka-teki, tarian, olahraga,
dan sejenisnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas,
maka kegiatan-kegiatan layanan pembelajaran hendaknya bertujuan sebagai terapi
dengan memperhatikan: adanya kesempatan pada anak untuk dapat mengekspresikan
dirinya sendiri, dapat meningkatkan persahabatan, adanya kesempatan pada anak
untuk dapat memecahkan masalah-masalahnya secara sendiri, menggunakan
gerakan-gerakan ritmis, dan dilakukan dengan memodifikasi perilaku yang
bersifat operant condition, dengan penguatan yang positif (positive
reinforcement), hukuman (punishment), dan penarikan/
penghentian kegiatan (time-out).
2. Penanganan Gangguan Perilaku
Agar siswa (anak tunalaras) dapat
berhasil di kelas , maka harus diadakan penanganan untuk masalah-masalah emosi
dan perilaku mereka. Cara yang paling efektif dalam mengatasi masalah-masalah
emosional dan perilaku di kelas adalah dengan mencegah terjadinya masalah ini.
Sementara tidak semua masalah emosional dan perilaku dapat dicegah, suatu pendekatn
proaktif jauh lebih efektif dibanding cara yang semata-mata hanya merespon
terhadap masalah. Cara ini juga dapat meningkatkan hubungan bauk antara guru
dan siswa yang mungkin sebelumnya diterima lebih negatif. Cara menciptakan
suasana kelas yang dapat meningkatkan sikap-sikap positif dan membantu mencegah
sikap-sikap negatif, antara lain (Sabatino, 1987, dalam J.david Smith,
2006:155-156):
a. Buatlah harapan-harapan akademis dan
perilaku siswa yang anda inginkan sejelas mungkin bagi mereka.
b. Tunjukkan pada siswa bahwa anda jujur
dalam hubungan dengan mereka.
c. Berikan perhatian dan pengakuan kepada
siswa atas sifat-sifat dan prestasi yang positif. Suatu ukuran yang baik adalah
menemukan sesuatu yang positif untuk dinyatakan kepada siswa setiap hari.
d. Buatlah contoh sikap, kebiasaan kerja,
dan hubungan yang positif.
e. Persiapkan pola pengajaran dan berikan
kurikulum tersusun dengan baik.
f. Buatlah suasana kelas yang dapat
diterima, baik secara fisik maupun sosial.
sumber: http://forumdapodik.blogspot.com/2014/02/sekolah-inklusi-solusi-pendidikan-untuk.html